by Ayu Mas Yoca Hapsari, M.Psi., Psikolog
Emosi Itu Petunjuk, Bukan Gangguan
Pernah nggak Wellners merasa cemas sebelum wawancara kerja, atau jantung berdebar saat menunggu kabar penting? Banyak orang buru-buru ingin menghilangkan rasa itu. Padahal, emosi bukan sekadar gangguan, mereka adalah sinyal dari tubuh bahwa “ini penting hal buat kamu”. Neuroscientist Antonio Damasio melalui teorinya Somatic Marker Hypothesis (SMH) menjelaskan bahwa emosi bekerja sebagai “penanda tubuh” yang membantu kita mengambil keputusan. “Feelings are not a luxury, they are a guide to survival” tulis Damasio (1994).
Kalau kita perhatikan lebih dalam, setiap emosi sebenarnya membawa pesan. Rasa marah bisa menjadi tanda bahwa batas diri kita sedang dilanggar. Sedih muncul ketika kita kehilangan sesuatu yang bernilai. Cemas hadir karena kita peduli terhadap hasil yang akan datang. Tornquist dkk. (2024) menemukan bahwa emosi bahagia meningkatkan performa dalam berbagai tugas pengendalian diri, seperti menunda kepuasan, bertahan dalam tugas yang sulit, dan bahkan memutus kebiasaan lama dibandingkan dengan emosi sedih. Artinya, emosi tidak hanya muncul sebagai reaksi, tetapi juga bisa menjadi motivator yang mendorong kita bertahan dan berkembang.
Dalam keseharian, otak sering mengambil jalan pintas dengan menggunakan emosi (perasaan) sebagai jalan pintas mengambil keputusan yang disebut affect heuristic. Kalau kita merasa nyaman dengan sebuah pilihan, kita cenderung menilai risikonya lebih rendah dan lebih aman. Sebaliknya, jika pilihan terasa tidak enak, kita lebih waspada. Contoh sederhana: ketika bertemu orang baru, ada rasa “klik” atau justru tidak nyaman. Itu bukan kebetulan, tapi kompas emosional kita sedang bekerja memberi arah.
Kita sering diajarkan untuk “mengendalikan” emosi agar tidak menguasai diri. Padahal, emosi bukan sekadar hal yang harus ditekan, tapi justru sumber informasi penting tentang apa yang berarti bagi kita. Seperti kompas, emosi memberi petunjuk ke arah mana kita perlu melangkah. Menurut Grimani dkk. (2024), bukan hanya emosi yang kita rasakan sekarang yang memengaruhi keputusan, tapi juga emosi yang kita bayangkan. Mereka membedakan dua jenis pengalaman emosi:
- Anticipatory emotions– emosi yang muncul saat menunggu hasil atau masih dalam proses, misalnya cemas menjelang ujian.
- Anticipated emotions– emosi yang kita bayangkan akan muncul setelah hasil terjadi, misalnya rasa lega atau bahagia setelah lulus.
Kedua jenis emosi ini sama-sama berperan sebagai “peta jalan”. Rasa cemas bisa membuat kita lebih giat belajar, sedangkan membayangkan kebahagiaan setelah lulus memberi semangat tambahan. Dengan kata lain, emosi tidak hanya bereaksi pada masa kini, tapi juga memandu kita menghadapi masa depan.
Sayangnya, banyak orang masih menganggap emosi sebagai kelemahan. Marah sering dicap buruk, cemas dianggap salah, sedih dipandang lemah. Padahal, setiap emosi memiliki bahasa dan pesan tersendiri.
Seperti yang ditulis Brené Brown dalam Atlas of the Heart (2021): “We cannot selectively numb emotions. When we numb the painful emotions, we also numb the positive ones.” Menolak satu jenis emosi berarti juga menutup pintu untuk merasakan yang indah secara utuh.
Bagaimana Memakai Emosi sebagai Kompas Hidup?
Daripada melawan emosi, coba dengarkan pesannya:
- Dalam karier: kalau kamu terus gelisah di tempat kerja, mungkin itu tanda butuh tantangan baru.
- Dalam hubungan: rasa kesal bisa jadi pesan bahwa kamu perlu menetapkan batas lebih tegas.
- Dalam keputusan besar: takut dan ragu bisa jadi ajakan untuk mengecek ulang apakah pilihan itu sejalan dengan nilai hidupmu.
Tips sederhana: setiap kali emosi kuat muncul, tanya diri sendiri: “Apa sih yang sebenarnya ingin diingatkan perasaan ini?”
Emosi tidak selalu memberi jawaban final, tapi mereka selalu memberi arah. Saat kita berani mendengarkan emosi baik yang menyenangkan maupun yang sulit kita sedang belajar lebih jujur pada diri sendiri. Seperti yang diingatkan Damasio: “We are not thinking machines that feel, we are feeling machines that think”
Referensi
- Brown, B. (2021). Atlas of the Heart.
- Damasio, A. (1994). Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain.
- Grimani, A., Yemiscigil, A., Wang, Q., Kirilov, G., Kudrna, L., & Vlaev, I. (2024). How do emotions respond to outcome values and influence choice?. Psychological research, 88(8), 2234–2250. https://doi.org/10.1007/s00426-024-02001-3
- Tornquist, A., Chiappe, D., & Herrmann, D. (2024). The effect of induced happiness versus sadness on three types of self-control tasks. Self and Identity. https://doi.org/10.1080/15298868.2024.2375800

Leave a Reply