Category: Kesehatan Mental

  • Ketika Hobi Jadi Ketergantungan: Memahami Adiksi Perilaku

    Ketika Hobi Jadi Ketergantungan: Memahami Adiksi Perilaku

    by Annisa Kusindriani, M.Psi., Psikolog

     

    Saat mendengar kata adiksi, mungkin yang terbayang di pikiran kita adalah rokok, alkohol, atau narkoba. Namun, para ahli ilmu perilaku meyakini bahwa semua hal yang mampu menstimulasi seseorang dapat bersifat adiktif, termasuk aktivitas sehari-hari yang terlihat “normal” atau bahkan hobi, seperti bermain game, menggunakan media sosial atau internet, berbelanja, berolahraga, makan, bekerja, hubungan cinta, dan seks. Fenomena ini disebut dengan adiksi perilaku atau behavioral addiction.

     

    Apa itu adiksi perilaku?

    Secara sederhana, adiksi perilaku adalah kondisi ketika sebuah aktivitas yang awalnya menyenangkan berubah menjadi kebutuhan yang sulit dikendalikan, ​​bahkan sampai mengorbankan kesehatan dan kesejahteraan jangka panjang. Misalnya, seseorang yang awalnya menggunakan media sosial hanya untuk mengisi waktu luang, lama-lama merasa tidak tenang jika tidak menggunakannya, bahkan rela begadang atau mengorbankan pekerjaan.

    Gejala adiksi perilaku hampir mirip dengan adiksi zat, diantaranya:

    • Kesulitan mengendalikan perilaku meskipun memiliki keinginan atau niat untuk berhenti atau menguranginya.
    • Menghabiskan waktu berlebihan untuk memikirkan perilaku tersebut atau merencanakan untuk melakukannya.
    • Ada rasa ingin terus menambah durasi atau intensitas melakukan perilaku tersebut demi mencapai efek yang diinginkan.
    • Tetap melanjutkan perilaku walaupun sudah menimbulkan dampak buruk (misalnya kerugian fisik, psikologis, atau sosial).
    • Perilaku tersebut secara signifikan mengganggu fungsi harian di bidang penting seperti pekerjaan, hubungan, atau kesehatan.

    Bedanya, pada adiksi zat tubuh bereaksi secara fisik terhadap bahan kimia yang dikonsumsi, sehingga dapat membuat ketagihan. Pada adiksi perilaku, yang membuat ketagihan adalah sensasi, emosi, dan pengalaman dari aktivitas itu sendiri, misalnya sensasi “senang” saat menang main game atau rasa “lega” ketika berbelanja.

    Mengapa bisa terjadi?

    Ada beberapa faktor yang membuat seseorang dapat mengalami adiksi perilaku:

    • Mekanisme neurobiologis: Otak memiliki sistem “reward” yang mengatur rasa senang. Saat kita melakukan hal yang menyenangkan, otak melepaskan dopamin (zat yang membuat kita merasa senang). Dopamin inilah yang membuat kita merasa puas dan ingin mengulanginya lagi.
    • Psikologis: Kesulitan mengelola emosi, seperti cemas, stres, atau depresi, membuat perilaku atau aktivitas tertentu jadi pelarian.
    • Faktor sosial dan lingkungan: Pengaruh teman sebaya, norma sosial, serta era modern yang membuat mudahnya akses ke segala hal, termasuk perilaku adiktif (misalnya kemudahan mengakses platform media sosial, situs judi, dll).

    Apa Dampaknya?

    Sama seperti adiksi zat, adiksi perilaku bisa menimbulkan dampak yang serius:

    • Penurunan produktivitas dan prestasi akademik atau kinerja.
    • Masalah relasi dengan keluarga, teman, atau pasangan.
    • Gejala psikologis seperti mood tidak stabil, cemas, depresi, agresi, hingga isolasi sosial.
    • Gangguan pola tidur, pola makan, hingga kesehatan fisik.
    • Masalah finansial, termasuk hutang.

    Bagaimana Mengatasinya?

    Adiksi perilaku bisa diatasi dengan cara-cara yang mirip dengan Adiksi zat:

    • Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) untuk membantu mengubah pola pikir dan perilaku berulang.
    • Pendekatan Mindfulness, melatih kesadaran terhadap dorongan adiktif dan belajar mengelolanya.
    • Dukungan sosial dari keluarga, teman, atau komunitas.
    • Pengobatan tertentu (farmakoterapi) yang dapat membantu mengurangi dorongan dan impulsivitas.

    Selain itu, pencegahan juga hal yang sangat penting. Adiksi perilaku bisa dialami siapa saja, dari segala usia. Edukasi sejak dini dan kesadaran diri perlu ditingkatkan. Memahami tanda-tandanya sejak awal adalah langkah penting agar kita bisa mencegah adiksi perilaku dan menjaga keseimbangan hidup.

    Segala sesuatu yang berlebihan tidak baik.”

    Menikmati hobi dan hal yang disenangi tentu boleh, tapi jika sudah mengganggu kesehatan, relasi, dan produktivitas, yuk cari bantuan profesional.

     

    Sumber:

    Thakur, P., & Kashyap, S. S. (2025). Behavioral addiction: A review of current understanding and emerging perspectives. Zeichen Journal, 11(1), 1–14.

    Alavi, S. S., Ferdosi, M., Jannatifard, F., Eslami, M., Alaghemandan, H., & Setare, M. (2012). Behavioral addiction versus substance addiction: Correspondence of psychiatric and psychological views. International Journal of Preventive Medicine, 3(4), 290–294.

     

     

     

     

  • Emosi sebagai Kompas Hidup: Bukan Musuh, Tapi Penunjuk Arah

    Emosi sebagai Kompas Hidup: Bukan Musuh, Tapi Penunjuk Arah

    by Ayu Mas Yoca Hapsari, M.Psi., Psikolog

     

    Emosi Itu Petunjuk, Bukan Gangguan

    Pernah nggak Wellners merasa cemas sebelum wawancara kerja, atau jantung berdebar saat menunggu kabar penting? Banyak orang buru-buru ingin menghilangkan rasa itu. Padahal, emosi bukan sekadar gangguan, mereka adalah sinyal dari tubuh bahwa “ini penting hal buat kamu”.  Neuroscientist Antonio Damasio melalui teorinya Somatic Marker Hypothesis (SMH) menjelaskan bahwa emosi bekerja sebagai “penanda tubuh” yang membantu kita mengambil keputusan. “Feelings are not a luxury, they are a guide to survival” tulis Damasio (1994).

     

    Kalau kita perhatikan lebih dalam, setiap emosi sebenarnya membawa pesan. Rasa marah bisa menjadi tanda bahwa batas diri kita sedang dilanggar. Sedih muncul ketika kita kehilangan sesuatu yang bernilai. Cemas hadir karena kita peduli terhadap hasil yang akan datang. Tornquist dkk. (2024) menemukan bahwa emosi bahagia meningkatkan performa dalam berbagai tugas pengendalian diri, seperti menunda kepuasan, bertahan dalam tugas yang sulit, dan bahkan memutus kebiasaan lama dibandingkan dengan emosi sedih. Artinya, emosi tidak hanya muncul sebagai reaksi, tetapi juga bisa menjadi motivator yang mendorong kita bertahan dan berkembang.

     

    Dalam keseharian, otak sering mengambil jalan pintas dengan menggunakan emosi (perasaan) sebagai jalan pintas mengambil keputusan yang disebut affect heuristic. Kalau kita merasa nyaman dengan sebuah pilihan, kita cenderung menilai risikonya lebih rendah dan lebih aman. Sebaliknya, jika pilihan terasa tidak enak, kita lebih waspada. Contoh sederhana: ketika bertemu orang baru, ada rasa “klik” atau justru tidak nyaman. Itu bukan kebetulan, tapi kompas emosional kita sedang bekerja memberi arah.

     

    Kita sering diajarkan untuk “mengendalikan” emosi agar tidak menguasai diri. Padahal, emosi bukan sekadar hal yang harus ditekan, tapi justru sumber informasi penting tentang apa yang berarti bagi kita. Seperti kompas, emosi memberi petunjuk ke arah mana kita perlu melangkah. Menurut Grimani dkk. (2024), bukan hanya emosi yang kita rasakan sekarang yang memengaruhi keputusan, tapi juga emosi yang kita bayangkan. Mereka membedakan dua jenis pengalaman emosi:

    • Anticipatory emotions– emosi yang muncul saat menunggu hasil atau masih dalam proses, misalnya cemas menjelang ujian.
    • Anticipated emotions– emosi yang kita bayangkan akan muncul setelah hasil terjadi, misalnya rasa lega atau bahagia setelah lulus.

    Kedua jenis emosi ini sama-sama berperan sebagai “peta jalan”. Rasa cemas bisa membuat kita lebih giat belajar, sedangkan membayangkan kebahagiaan setelah lulus memberi semangat tambahan. Dengan kata lain, emosi tidak hanya bereaksi pada masa kini, tapi juga memandu kita menghadapi masa depan.

    Sayangnya, banyak orang masih menganggap emosi sebagai kelemahan. Marah sering dicap buruk, cemas dianggap salah, sedih dipandang lemah. Padahal, setiap emosi memiliki bahasa dan pesan tersendiri.

     

    Seperti yang ditulis Brené Brown dalam Atlas of the Heart (2021): “We cannot selectively numb emotions. When we numb the painful emotions, we also numb the positive ones.” Menolak satu jenis emosi berarti juga menutup pintu untuk merasakan yang indah secara utuh.

     

    Bagaimana Memakai Emosi sebagai Kompas Hidup?

    Daripada melawan emosi, coba dengarkan pesannya:

    • Dalam karier: kalau kamu terus gelisah di tempat kerja, mungkin itu tanda butuh tantangan baru.
    • Dalam hubungan: rasa kesal bisa jadi pesan bahwa kamu perlu menetapkan batas lebih tegas.
    • Dalam keputusan besar: takut dan ragu bisa jadi ajakan untuk mengecek ulang apakah pilihan itu sejalan dengan nilai hidupmu.

     

    Tips sederhana: setiap kali emosi kuat muncul, tanya diri sendiri: “Apa sih yang sebenarnya ingin diingatkan perasaan ini?”

     

    Emosi tidak selalu memberi jawaban final, tapi mereka selalu memberi arah. Saat kita berani mendengarkan emosi baik yang menyenangkan maupun yang sulit kita sedang belajar lebih jujur pada diri sendiri. Seperti yang diingatkan Damasio: “We are not thinking machines that feel, we are feeling machines that think”

     

    Referensi

    • Brown, B. (2021). Atlas of the Heart.
    • Damasio, A. (1994). Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human Brain.
    • Grimani, A., Yemiscigil, A., Wang, Q., Kirilov, G., Kudrna, L., & Vlaev, I. (2024). How do emotions respond to outcome values and influence choice?. Psychological research88(8), 2234–2250. https://doi.org/10.1007/s00426-024-02001-3
    • Tornquist, A., Chiappe, D., & Herrmann, D. (2024). The effect of induced happiness versus sadness on three types of self-control tasks. Self and Identity. https://doi.org/10.1080/15298868.2024.2375800
  • Apakah Ini Stres Biasa atau Gejala Trauma?

    Apakah Ini Stres Biasa atau Gejala Trauma?

    by Aminah, M.Psi., Psikolog

     

    Pernahkah kamu merasa tubuh tegang terus-menerus, mudah kaget, atau mimpi buruk berulang tentang hal yang sudah lama berlalu?
    Kadang orang mengira itu hanya stres biasa. Tapi, bisa jadi tubuh dan pikiran kamu sedang menyimpan trauma.
    Trauma bukan sekadar kenangan buruk. Ia meninggalkan jejak pada pikiran, emosi, bahkan tubuh. Gejala ini disebut gejala pascatrauma.

    Mari kita kenali bersama.

    1. Selalu Siaga Berlebihan (Hyperarousal)

    Bayangkan ada “alarm bahaya” yang terus menyala di kepala.
    ● Mudah panik atau kaget terhadap suara kecil.
    ● Susah tidur karena tubuh seakan terus berjaga.
    ● Mudah tersulut marah atau agresif.
    ● Sulit percaya pada orang lain, selalu curiga.

    2. Kenangan yang Mengganggu (Intrusion)

    Seperti ada “film lama” yang terus diputar tanpa bisa dikontrol.
    ● Ingatan atau mimpi buruk muncul berulang, terasa nyata.
    ● Flashback yang membuatmu seperti kembali ke masa trauma.
    ● Anak-anak kadang mengekspresikan lewat permainan atau perilaku yang meniru
    trauma.

    3. Menghindar dan Mati Rasa Emosional (Constriction)

    Sebagian orang merespons dengan menarik diri dan mematikan emosi.
    ● Menghindari tempat, orang, atau pembicaraan yang mengingatkan pada trauma.
    ● Sulit merasakan emosi bahagia, sedih, atau cinta terasa jauh.
    ● Ekspresi wajah datar, tampak tidak tertarik.
    ● Kadang muncul amnesia terkait bagian dari peristiwa traumatis.
    ● Dalam kondisi berat, muncul pikiran menyalahkan diri sendiri atau keinginan
    mengakhiri hidup.

    4. Saat Trauma Berbicara Lewat Tubuh (Somatisasi)

    Trauma juga bisa muncul dalam bentuk keluhan fisik.
    ● Jantung berdebar tanpa sebab jelas.
    ● Perut sakit, pusing, atau otot menegang.
    ● Hasil medis sering normal, tapi rasa sakitnya nyata.

    5. Dipengaruhi Budaya dan Konteks

    Menariknya, cara trauma muncul bisa berbeda di tiap budaya. Ada yang lebih banyak
    menunjukkan gejala fisik, ada juga yang menekankan pada emosi atau pikiran.

     

    6. Bukan Semua Stres = Trauma

    Penting diingat: tidak semua stres otomatis disebut trauma.
    Diagnosis Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) selalu terkait dengan peristiwa yang benar-benar traumatis. Jadi, kalau kamu mengalami gejala di atas, sebaiknya jangan
    buru-buru menyimpulkan sendiri, lebih baik diskusikan dengan tenaga profesional.

     

    Kapan Perlu Mencari Bantuan?
    Jika gejala ini bertahan lama, mengganggu tidur, pekerjaan, atau hubungan dengan orang
    lain, itu tanda kamu tidak perlu menghadapinya sendirian.

    Konseling dengan psikolog dapat membantu:
    ● Mengurai apa yang sebenarnya terjadi.
    ● Menemukan cara sehat mengelola gejala.
    ● Membantu tubuh dan pikiran merasa aman kembali.

     

    Penutup
    Stres adalah bagian dari hidup. Tapi ketika stres terasa terus menghantui, bisa jadi itu adalah trauma yang belum sembuh.

    Menyadari gejala ini bukan berarti kamu lemah. Justru itu langkah awal untuk merawat diri. Dengan bantuan yang tepat, luka lama bisa dipulihkan, dan kamu berhak untuk merasa aman dan tenang kembali.

    Jika kamu merasa relate dengan gejala di atas, jangan ragu mencari bantuan. Konseling bisa menjadi jalan pulang menuju diri yang lebih tenang.

    Catatan: Artikel ini bertujuan sebagai informasi umum dan edukasi. Ia tidak menggantikan proses asesmen atau diagnosis profesional. Jika gejala terasa berat, sebaiknya segera berkonsultasi dengan psikolog atau tenaga kesehatan jiwa.

     

    Referensi:
    Irwanto & Kumala, H. (2020). Memahami trauma: Dengan perhatian khusus pada masa
    kanak-kanak. Gramedia Pustaka Utama.

  • Ada yang Nyatanya Susah Fokus, tapi bukan Gangguan

    Ada yang Nyatanya Susah Fokus, tapi bukan Gangguan

    by Prudentia Kirana, M. Psi., Psikolog

     

    “IPK 3,9 tapi kok susah fokus ke bacaan?”
    “Kenapa sih kamu cepat banget pindah topik bicara? Belum
    beres ngomong, udah pindah lagi”

     

    Komentar-komentar ini mungkin bermaksud menegur, tapi bisa membuat kita resah. Semakin marak informasi mengenai rentang perhatian manusia yang semakin memendek dengan perkembangan teknologi. Keresahan diperparah dengan semakin banyak diagnosa gangguan atensi di anak-anak. Pasti kita akan bertanya-tanya, apakah kita juga memiliki gangguan atensi? Atau kita pun terpengaruh teknologi yang serba instan?
    Jangan panik dulu! Penelitian menemukan bahwa ada banyak alasan mengapa seseorang mudah teralihkan. Bahkan ada kelompok orang tertentu yang sudah pasti mudah pindah fokusnya, tapi tidak gangguan atensi!


    Kecerdasan di atas rata-rata
    Rata-rata kecerdasan manusia ada di rentang 75-115, namun untuk mengetahui skor IQ akan dibutuhkan tes lama dan intens. Secara sederhana, orang cerdas dapat dicirikan cenderung cepat menyelesaikan beragam permasalahan sekaligus, menemukan solusi yang tidak lazim dan ketertarikan yang beragam. Hal ini dikarenakan otak manusia cerdas akan mampu menangkap, menyimpan dan mengelola informasi dengan lebih banyak dan beragam. Maka tidak aneh kalau untuk urusan kebiasaan sehari-hari akan dirasa membosankan dan tidak menarik bagi orang cerdas. Kasarnya seperti smartphone dengan kapasitasnya besar, dan hanya digunakan untuk fitur kalkulatornya saja. Pasti terasa tersia-sia dan biasa saja. Itu alasannya orang cerdas cenderung mudah teralihkan fokusnya. Mereka akan “mencari masalah” yang lebih menarik untuk diselesaikannya dan cepat berpindah kalau ada yang lebih menantang otaknya.


    Keterampilan berbahasa lebih dari satu (bilingualism atau polilinguism)
    Bahasa merupakan bagian komunikasi yang khas pada manusia. Bahasa dengan peraturan tata bahasa yang rumit, semakin sulit dikuasai dengan peraturan budaya setempat yang mengatur situasi kondisi yang “tepat” dalam bertutur kata.
    Penguasaan satu bahasa akan membutuhkan keterampilan untuk mengenali arti kosa kata yang digunakan, memilah kata dan tata bahasa yang tepat untuk mengekspresikan maksud, dan pengendalian diri untuk tidak menyampaikan suatu hal ketika konteksnya tidak tepat. Jika bahasa yang dikuasai lebih dari satu, maka kepekaan akan setiap bahasa dan konteks berbahasa harus lebih tajam daripada menggunakan satu bahasa. Selain itu, orang yang menguasai lebih dari satu bahasa harus bisa cepat dan tepat mengubah semua cara berkomunikasinya ketika berpindah dari satu bahasa ke bahasa lain. Tentunya ini membutuhkan fleksibiltas berpikir yang bisa saja tidak disadari oleh orang-orang ini! Maka lazim saja orang-orang yang menguasai lebih dari satu bahasa akan cenderung mudah teralihkan fokusnya, karena otak mereka terlalu fleksibel dan terbiasa untuk berpindah-pindah.

    Permasalahan perasaan (Kecemasan, Depresi, Gangguan Dukacita dsb.)
    Pada umumnya, kita akan sangat sulit untuk berfokus pada suatu pekerjaan kalau kita sedang mengalami perasaan negatif. Ini dikarenakan otak kita sedang berusaha melindungi diri dari sumber perasaan negatif dengan cara mencari alternatif jalan keluarnya. Semisalnya, kalau kita salah menyimpan HP pasti akan berusaha mengingat-ingat di mana terakhir kali kita menggunakannya.
    Sekarang bayangkan kalau kita khawatir atau sedih terus menerus, pastinya sulit sekali untuk berfokus pada hal yang bukan penyebab perasaan-perasaan tersebut. Itu yang dialami oleh orang-orang yang cemas, depresi dan gangguan duka cita. Dimana perasaan-perasaan negatif mereka menghentikan mereka untuk berpikir hal sederhana seperti menu makan siang atau kapan terakhir mandi.


    Susah fokus tidak berarti gangguan atensi, tetapi ada banyak kemungkinan faktor penyebabnya
    Pastinya kalau kamu tidak masuk ke dalam kategori di atas dan memang sudah mengalami gangguan atensi semenjak anak-anak, cari lah profesional untuk bantuan lebih lanjut!

     

    Referensi
    Bialystok, E., & Craik, F. I. (2022). How does bilingualism modify cognitive function? Attention to the mechanism. Psychonomic bulletin & review, 29(4), 1246-1269.
    Draheim, C., Tsukahara, J. S., Martin, J. D., Mashburn, C. A., & Engle, R. W. (2021). A toolbox approach to improving the measurement of attention control.
    Journal of Experimental Psychology: General, 150(2), 242.
    Warren, S. L., Heller, W., & Miller, G. A. (2021). The structure of executive dysfunction in depression and anxiety.
    Journal of affective disorders, 279, 208-216

  • KENAPA KITA KALAH SAMA EMOSI?

    KENAPA KITA KALAH SAMA EMOSI?

    Penulis: Nathasya Shesilia

     

    Wellners pernah gak merasa kehilangan kontrol diri saat merasakan luapan emosi? Misalnya seperti marah, sedih yang mendalam, takut, atau bahkan obsesi terhadap sesuatu. Penasaran gak sih apa yang membuat kita seperti ini? Yuk simak penjelasan berikut ini!

     

    Sebelum kita mempelajari proses emosi, wellners perlu tahu dua bagian otak yang berpengaruh terhadap perilaku manusia ketika emosi, yaitu korteks prefrontal (bagian otak yang mengatur logika, penilaian, dan pengendalian diri) dan amigdala (organ dalam otak yang terletak di sistem limbik untuk memproses emosi).

     

    Ketika kita melihat, mendengar, atau mengalami sesuatu, indera akan mengirimkan informasi ke pusat penyaring & penerus informasi, bagian ini disebut dengan thalamus. Seharusnya, informasi tersebut dilanjutkan ke kortes prefrontal terlebih dahulu agar bisa dianalisis apakah informasinya benar & langkah tepat apa yang bisa dilakukan. Setelahnya baru diproses ke amigdala agar emosi yang diekspresikan sudah disadari, sehingga tidak menimbulkan konsekuensi yang akan Wellners sesali.

     

    Sayangnya, terkadang informasi langsung diteruskan ke amigdala tanpa dianalisa dulu oleh kortes prefrontal. Hal ini membuat Wellners menampilkan respon cepat yang tidak akurat karena menampilkan emosi yang berlebihan, kehilangan kontrol diri, dan penyesalan karena adanya konsekuensi yang seharusnya dihindari.

     

    Yuk ciptakan habit baru dengan menyadari situasi yang memancing emosi. Ambil waktu sejenak sebelum meluapkan emosi.

     

    Reference:

    Orji, L. C., & Ita, U. A. (2024). Amygdala hijack: Contemporary insight into causes, correlates and consequences. African Journal of Health Nursing and Midwifery, 7(3). https:doi// 10.52589/AJHNM-KQM0NM27

  • KELOLA EMOSI DENGAN MENGONTROL DIRI

    KELOLA EMOSI DENGAN MENGONTROL DIRI

    Penulis: Nathasya Shesilia

    Apakah Wellners punya situasi-situasi khusus yang bisa memancing emosi? Biasanya kita akan menyadari setelah mengalami kejadian tersebut beberapa kali. Biasanya situasi yang membuat Wellners meluapkan emosi tanpa kendali adalah situasi yang mengancam, menekan, menyinggung, dsb. Pengalaman traumatis yang berdampak pada emosional membuat Wellners mudah terpancing saat menemui pengalaman yang mengingatkan Wellners pada luka. Karena Wellners ingin melindungi diri, Wellners jadi merespon secepat mungkin tanpa memahami situasinya lebih dulu.

    Berikut adalah 5 langkah untuk mengelola emosi:

    Reference:

    Nathanson, L. Rivers, S.E., Flynn, L. M., & Brackett, M. A. (2016). Creating emotional intelligent schools with ruler. Emotion Review, 8(4). https:doi//10.1177/1754073916650495

  • SADARI SENSASI DARI SETIAP EMOSI

    SADARI SENSASI DARI SETIAP EMOSI

    Penulis: Nathasya Shesilia

     

    Saat Wellners merasa cemas, mungkin perut terasa mual. Ketika marah, wajah bisa memanas dan tangan mengepal. Reaksi-reaksi ini bukanlah kebetulan, sensasi tersebut adalah bukti nyata bahwa emosi tidak hanya terjadi di dalam pikiran, tetapi juga termanifestasi lewat tubuh. Dalam psikologi, hubungan antara emosi dan sensasi fisik ini dikenal sebagai cara tubuh “berbicara” sebelum kita sempat menyadari perasaan kita sepenuhnya.

     

    Yuk kenali sensasi pada bagian-bagian tubuh tertentu untuk lebih mudah mengenali emosi yang Wellners Alami. Pada gambar berikut ini, Wellners akan melihat warna kuning, merah, oranye, hitam, navy, dan biru muda. Semakin kuning warnanya maka artinya respon tubuh pada bagian tersebut semakin tinggi. Sementara, semakin biru muda warnanya maka artinya respon tubuh pada bagian tersebut semakin rendah. Apabila pada bagian tubuh tersebut berwarna hitam, artinya tubuh tidak merasakan sensasi apapu/ netral.

     

    Coba Wellners lihat pada gambar orang marah (anger), bagian yang berwarna kuning dalah tangan, dada, mata, dan mulut. Itulah sebabnya saat Wellners sedang marah, mungkin rasanya tangan ingin melempar atau memukul sesuatu, dada terasa sesak atau jantung berdegup kencang, mata melotot, dan mulut berbicara kasar.

     

    Setelah baca artikel ini, Wellners bisa mencoba untuk memahami sensasi tubuh saat emosi lebih dulu, pejamkan mata atau pergi ke tempat tenang, lalu rasakan bagian tubuh mana yang berespon. Selain untuk mengenali emosi yang hadir, Wellners juga mendapat distraksi agar tidak langsung meluapkan emosi.

    Source: https://www.npr.org (2013)

     

    Reference:

    Breugelmans, S. M., Poortinga, Y. H., Ambadar, Z., & Setiadi, B. (2005). Body sensations associated with emotions in raramuri Indians, rural Javanese, and three student samples. PubMed, 5(20). https:doi// 10.1037/1528-3542.5.2.166

  • Mengenal Self-Compassion: Seni Bersikap Baik kepada Diri Sendiri di Tengah Tekanan Hidup

    Mengenal Self-Compassion: Seni Bersikap Baik kepada Diri Sendiri di Tengah Tekanan Hidup

    Di tengah tuntutan hidup yang kian kompleks, kesehatan mental menjadi aspek yang tidak bisa diabaikan dalam menjaga kualitas hidup. Salah satu pendekatan yang mulai banyak diperbincangkan dalam psikologi modern adalah konsep self-compassion atau belas kasih terhadap diri sendiri. Konsep ini diperkenalkan dan dikembangkan secara akademis oleh Kristin Neff, seorang psikolog asal Amerika Serikat, yang berpendapat bahwa seseorang perlu memperlakukan dirinya dengan penuh pengertian, kelembutan, dan penerimaan, terutama ketika menghadapi kegagalan atau masa-masa sulit. Dalam budaya yang cenderung menekankan pencapaian dan kesempurnaan, banyak individu yang tanpa sadar menaruh standar terlalu tinggi terhadap diri mereka, sehingga saat mengalami kegagalan, muncul kecenderungan menyalahkan dan merendahkan diri sendiri. Kondisi ini jika terus berlanjut bisa memicu stres kronis, kecemasan, bahkan depresi.

     

    Self-compassion terdiri dari tiga elemen utama, yaitu self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Self-kindness adalah kemampuan untuk bersikap lembut dan penuh pengertian kepada diri sendiri, alih-alih keras dan penuh kritik saat mengalami kesulitan. Common humanity mengajarkan bahwa penderitaan, kesalahan, dan keterbatasan adalah bagian dari pengalaman manusia yang bersifat universal, sehingga kita tidak sendirian dalam merasakan hal-hal tersebut. Sementara itu, mindfulness adalah kemampuan untuk menyadari apa yang sedang dirasakan saat ini tanpa menghakimi atau menyangkal emosi tersebut. Ketika ketiga elemen ini diterapkan secara bersamaan, individu dapat menghadapi tekanan hidup dengan lebih sehat dan seimbang, tanpa terperangkap dalam siklus perasaan bersalah atau rendah diri.

     

    Manfaat dari self-compassion telah dibuktikan melalui berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat belas kasih diri tinggi cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Mereka lebih mampu mengelola emosi negatif, memiliki hubungan sosial yang lebih hangat, dan menunjukkan resiliensi dalam menghadapi tantangan. Dalam konteks dunia kerja maupun akademik, self-compassion membantu seseorang untuk lebih mudah bangkit setelah mengalami kegagalan, menerima keterbatasan pribadi, serta mengembangkan motivasi intrinsik yang sehat. Alih-alih terpaku pada rasa takut akan kegagalan, individu yang berlatih self-compassion justru terdorong untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri tanpa harus mengorbankan kesehatan mentalnya.

     

    Pentingnya menumbuhkan self-compassion semakin relevan di era media sosial saat ini, di mana orang dengan mudah membandingkan diri mereka dengan pencapaian dan kehidupan orang lain yang ditampilkan di dunia maya. Ketidakseimbangan ekspektasi ini seringkali menyebabkan seseorang merasa tidak cukup baik, kurang berhasil, atau tertinggal. Dengan memiliki belas kasih terhadap diri sendiri, individu dapat membangun pondasi psikologis yang kokoh untuk tidak mudah terombang-ambing oleh tekanan eksternal. Praktik sederhana seperti menerima perasaan sedih tanpa menyalahkan diri, memberi afirmasi positif, dan menyadari bahwa kegagalan bukan akhir segalanya bisa menjadi langkah awal untuk menerapkan self-compassion dalam kehidupan sehari-hari. Dalam jangka panjang, sikap ini dapat membantu seseorang menjalani hidup dengan lebih damai, penuh penerimaan, dan seimbang.

  • Membangun Kebiasaan Positif untuk Menjaga Kesehatan Mental

    Membangun Kebiasaan Positif untuk Menjaga Kesehatan Mental

    Kesehatan mental tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi eksternal seperti lingkungan dan hubungan sosial, tetapi juga oleh kebiasaan kecil yang dilakukan setiap hari. Banyak orang yang merasa kondisi mentalnya terganggu tanpa menyadari bahwa pola hidup yang dijalani turut berkontribusi terhadap suasana hati dan ketenangan batin. Membangun kebiasaan positif menjadi langkah sederhana namun sangat efektif untuk menjaga keseimbangan mental, mencegah stres berlebihan, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.

     

    Kebiasaan positif bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti bangun tidur lebih pagi, mengatur waktu makan, hingga rutin berolahraga. Kegiatan fisik ringan seperti stretching, jalan kaki, atau bersepeda di pagi hari terbukti dapat meningkatkan produksi hormon endorfin yang berperan dalam menciptakan perasaan bahagia. Selain itu, menjaga pola tidur yang cukup dan berkualitas juga sangat penting agar pikiran tetap segar dan tubuh lebih bertenaga. Kebiasaan ini membantu seseorang lebih siap menghadapi aktivitas harian tanpa mudah merasa kelelahan mental.

     

    Selain kebiasaan fisik, membangun kebiasaan positif dalam mengelola emosi juga tidak kalah penting. Misalnya, mulai membiasakan diri untuk bersyukur atas hal-hal kecil, menuliskan jurnal harian, atau mengucapkan afirmasi positif setiap pagi. Kebiasaan seperti ini perlahan dapat membentuk cara pandang yang lebih optimis dan mengurangi kebiasaan overthinking. Mengatur waktu untuk melakukan hobi, beristirahat, dan menjauh sejenak dari rutinitas yang melelahkan juga menjadi bentuk perawatan diri yang sering kali dilupakan.

     

    Interaksi sosial yang sehat juga perlu dijadikan kebiasaan positif untuk menjaga kondisi mental. Menghubungi teman lama, berbagi cerita, atau sekadar mengobrol ringan bersama orang terdekat dapat memberi dampak besar bagi suasana hati. Lingkungan yang suportif bisa menjadi tempat aman untuk mengekspresikan perasaan, mendapatkan dukungan emosional, serta saling menguatkan saat menghadapi situasi sulit. Jangan ragu untuk meminta bantuan atau bercerita saat merasa lelah, karena setiap orang berhak memiliki ruang untuk didengar.

     

    Kesehatan mental adalah aset berharga yang perlu dijaga melalui kebiasaan baik yang konsisten. Meski terlihat sepele, kebiasaan kecil yang dilakukan rutin memiliki pengaruh besar terhadap ketahanan emosional seseorang dalam jangka panjang. Dengan membangun kebiasaan positif, individu bisa lebih mudah mengendalikan stres, meningkatkan rasa bahagia, serta menjaga keseimbangan hidup di tengah tekanan yang datang. Merawat mental bukanlah tugas sesekali, melainkan komitmen harian yang perlu disadari dan dijaga dengan penuh kesadaran.

  • Mengelola Stres di Era Modern: Kenapa Itu Penting?

    Mengelola Stres di Era Modern: Kenapa Itu Penting?

    Di era modern yang serba cepat dan kompetitif, stres menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Tuntutan pekerjaan, tekanan sosial, ekspektasi pribadi, serta paparan informasi yang tiada henti membuat banyak orang rentan mengalami stres berlebihan. Meski stres merupakan reaksi alami tubuh saat menghadapi situasi tertentu, jika tidak dikelola dengan baik, kondisi ini dapat berdampak buruk pada kesehatan fisik dan mental. Karena itu, penting bagi setiap individu untuk memahami bagaimana stres bekerja dan cara mengelolanya agar tidak berkembang menjadi masalah serius.

     

    Stres tidak hanya berdampak pada emosi, tetapi juga dapat memengaruhi kondisi fisik. Seseorang yang mengalami stres berkepanjangan lebih berisiko terkena gangguan tidur, gangguan pencernaan, sakit kepala, hingga penyakit kronis seperti hipertensi dan gangguan jantung. Selain itu, stres yang tidak terkendali bisa menurunkan konsentrasi, memicu emosi negatif, hingga merusak hubungan sosial. Dalam jangka panjang, kondisi ini juga dapat menyebabkan kelelahan mental, kecemasan, bahkan depresi. Oleh sebab itu, mengenali tanda-tanda stres sejak dini sangat penting agar seseorang dapat segera mengambil langkah penanganan yang tepat.

     

    Mengelola stres di era modern bisa dimulai dari hal-hal sederhana yang sering diabaikan. Misalnya, meluangkan waktu untuk diri sendiri, membatasi paparan media sosial, serta mengatur jadwal kerja dan istirahat secara seimbang. Aktivitas fisik seperti berjalan kaki, yoga, atau bersepeda juga terbukti efektif meredakan ketegangan pikiran. Selain itu, menjaga pola tidur, pola makan, dan menghindari kebiasaan overthinking dapat membantu tubuh dan pikiran tetap stabil. Kegiatan relaksasi seperti mendengarkan musik, membaca buku, atau menulis jurnal juga bisa menjadi sarana pelarian sehat saat tekanan datang.

     

    Di samping itu, memiliki support system yang baik juga sangat berpengaruh dalam mengelola stres. Berbagi cerita kepada teman dekat, keluarga, atau komunitas bisa menjadi cara efektif untuk melepaskan beban emosional. Jika diperlukan, tidak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional seperti psikolog atau konselor agar bisa mendapatkan panduan yang tepat. Mengelola stres bukan berarti menghindari masalah, melainkan belajar untuk merespons situasi dengan lebih bijak dan tenang. Dengan begitu, kualitas hidup akan tetap terjaga, dan seseorang bisa lebih produktif menghadapi berbagai tantangan.

     

    Menghadapi era modern yang serba dinamis memang membutuhkan mental yang kuat dan adaptif. Mengelola stres dengan baik adalah salah satu kunci agar individu bisa bertahan dan tetap berkembang di tengah situasi yang terus berubah. Oleh karena itu, mulai prioritaskan waktu untuk merawat kondisi mental, kenali batas diri, dan biasakan melakukan aktivitas yang membuat hati tenang. Karena pada akhirnya, kesehatan mental adalah fondasi penting untuk bisa menikmati hidup dengan seimbang dan bermakna.